ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
BAB I
KONSEP DASAR
A. Fraktur
1. Pengertian
Trauma sistem muskuloskeletal yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah fraktur. Definisi yang paling sederhana menurut Tucker, et. al (1999: 434) fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang. Sedangkan menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1138) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Senada dengan definisi yang dinyatakan oleh para ahli diatas Doenges, et. al (2000: 761) juga mendefinisikan fraktur sebagai pemisahan atau patahnya tulang.
Beberapa definisi fraktur diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Penyebab yang paling lazim adalah karena trauma.
2. Penyebab
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.
1)
Bila terkena kekuatan langsung
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena pemukulan
(pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
2)
Bila
terkena kekuatan tak langsung
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari
tempat yang terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan
benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan
pada tibia dan fibula atau metatarsal,
terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang jalan berbaris dengan jarak
jauh.
c. Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh oleh karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
3. Gambaran klinis
Manifestasi klinis fraktur tergantung pada tingkat keparahan trauma serta lokasi fraktur. Menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2358-2359) manifestasi klinis fraktur antara lain:
a. Nyeri.
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen
diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dan kehilangan fungsi.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat
digunakan akan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada intregitas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pemendekan tulang.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain antara 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
d. Krepitus.
Saat ekstremitas diperiksa dengan
tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Edema.
Pembengkakan dan
perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear, fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
4. Anatomi / patologi
Menurut Price dan Wilson (1995: 1776) bagian-bagian tulang panjang yaitu diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama tersusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah juga terdapat dibagian epifisis dan diafisis tulang. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan akan menghilang pada tulang dewasa.
Gambar 1. Anatomi tulang panjang (Price
dan Wilson, 1995: 1776).
Terdapat berbagai tipe fraktur berdasarkan bentuk garis patah. Tipe-tipe fraktur tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2. Berbagai tipe fraktur berdasarkan betuk garis patah
(Smeltzer dan Bare, 2002: 2359).
5. Patofisiologi
Sabiston (1997: 370) menyatakan bahwa pola fraktur ditentukan dalam tingkat tertentu oleh sifat tenaga yang diberikan. Hal lain yang menentukan adalah sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang (Price dan Wilson, 1995: 1183). Ketiga hal tersebut dapat mentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap artinya mengenai seluruh penampang tulang atau sebagian saja. Menurut Underwood (1999: 811) sifat dan arah garis fraktur juga tergantung dari usia penderita dan jenis tulang yang terkena fraktur. Faktor-faktor ini bukan hanya dapat menentukan sifat dan arah garis fraktur saja karena usia penderita, jenis tulang yang fraktur serta pola tempat cedera mempengaruhi juga dalam kecepatan prose penyembuhan.
Pola terjadinya fraktur pada tulang sangat berperan dalam menentukan klasifikasinya. Klasifikasi fraktur menurut FKUI (2000: 346-347) dideskripsikan sebagai berikut:
a. Komplit atau tidak komplit.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti:
a) Hairline fracture (patah retak rambut).
b) Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak.
c) Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.
b. Bentuk garis patah dan hubunganya dengan mekanisme trauma.
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah oblik : trauma angulasi.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa.
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan / traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur patella.
c. Jumlah garis patah.
1) Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
3) Faktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang.
d. Bergeser atau tidak bergeser.
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen frakt ur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pegeseran membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).
e. Komplikasi atau tanpa komplikasi. Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, lokal atau sistemik, oleh trauma atau akibat pergerakan.
f. Terbuka atau tertutup.
1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I.
(1) Luka kurang dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif ringan.
(4) Kontaminasi ringan.
b) Derajat II.
(1) Laserasi lebih dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap atau avulsi.
(3) Fraktur kominutif sedang.
(4) Kontaminasi sedang.
c) Derajat III.
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
(1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur adekuat, meskipun terdapat laserasi luas, flap atau avulsi atau fraktur segmental / sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
(2) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi.
(3) Luka pada pembuluh arteri atau saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
Bila terjadi patah tulang maka proses penyembuhannya berbeda dengan jaringan lain. Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut seperti jaringan lain pada umumnya tetapi mengalami regenerasi sendiri. Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1146) menyatakan bahwa proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang.
Tahapan-tahapan penyembuhan tulang menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2266-2268) adalah sebagai berikut:
a. Inflamasi.
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag, yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel.
Kurang lebih 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteobalast (berkembang dari osteosit, sel endostel dan periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.
c. Pembentukan kalus.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi yang lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan sampai tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Agar fragmen tulang rawan atau jaringan fibrus diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
d. Osifikasi.
Pembentukan kalus mulai mengalami penurunan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang orang dewasa, penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
e. Remodeling.
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus, stress funsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak khususnya pada titik kontak langsung.
Proses penyembuhan tulang tersebut dapat terganggu karena beberapa hal, sehingga akan memperlambat pertautan dua fragmen. Menurut Long (1996: 359) penyebab gangguan penyembuhan tulang atara lain sebagai berikut:
a.
Kalus
putus atau remuk karena aktivitas berlebihan.
b.
Edema pada
lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.
c.
Immobilisasi
yang tidak efisien.
d.
Infeksi
terjadi pada lokasi.
e.
Kondisi
gizi klien buruk.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2361) faktor yang menghambat penyembuhan tulang adalah:
a.
Trauma
lokal ekstensif.
b.
Kehilangan
tulang.
c.
Immobilisasi
tidak memadai.
d.
Rongga
atau jaringan diantara fragmen tulang.
e.
Infeksi.
f.
Keganasan
lokal.
g.
Penyakit tulang
metabolik ( misalnya penyakit Paget).
h.
Radiasi
tulang (nekrosis radiasi).
i.
Nekrosis
avaskuler.
j.
Fraktur
intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrilisin, yang akan melisis bekuan
darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan).
k.
Usia
(lansia sembuh lebih lama).
l.
Kortikosteroid
(menghambat kecepatan perbaikan).
B. Amputasi
1. Pengertian
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1282). Sedangkan menurut Engram (1999: 343) amputasi merujuk pada pengangkatan semua atau sebagian ekstremitas. Tucker, et. al (1999: 453) juga memberikan definisi yang lebih terinci yaitu amputasi kaki adalah pengangkatan melalui pembedahan bagian dari kaki karena trauma, penyakit, tumor atau anomali kongenital.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah tindakan pengangkatan sebagian atau seluruhnya dari bagian tubuh terutama ekstremitas atas indikasi tertentu sehingga menimbulkan kecacatan menetap. Terdapat dua macam amputasi dilihat dari teknik pembedahannya. Menurut Engram (1999: 347) amputasi dapat terbuka (guillotine) atau tertutup.
Amputasi terbuka dikerjakan pada luka kotor seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangren gas. Pada amputasi cara ini sayatan dikulit dibuat secara sirkuler sedangkan otot dipotong lebih proksimal dari sayatan di kulit dan tulang digergaji sedikit proksimal dari otot. Luka dibiarkan terbuka sampai infeksi teratasi, kemudian baru dikerjakan reamputasi (Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1285). Untuk amputasi tertutup, dokter bedah menutup luka dengan flap kulit dan otot (Engram, 1999: 343).
2. Indikasi
Menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1282) indikasi amputasi antara lain:
a. Kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah.
b. Cedera.
c. Tumor ganas.
d. Infeksi.
e. Kelainan bawaan.
f. Kelainan neurologis seperti paralisis dan anestesia.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2387) amputasi ekstermitas bawah sering diperlukan pada kondisi-kondisi berikut:
a. Penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa diabetes mellitus).
b. Gangren.
c. Trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin, luka bakar listrik).
d. Deformitas kongenital.
e. Tumor ganas.
D. Fokus Pengkajian
Fokus pengkajian pada klien dengan
fraktur menurut Doenges, et. al (2000: 761) adalah sebagai berikut:
1.
Aktivitas
istirahat.
Tanda
: Keterbatasan
atau fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau
terjadi secara sekunder dan pembengkakan jaringan, nyeri).
2.
Sirkulasi.
Tanda : Hipertensi
atau tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat.
Pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jariangan atau massa hematoma pada
sisi cedera.
3.
Neurosensori.
Gejala : Hilang
gerakan atau sensasi, spasme otot, kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas
lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit),
spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri ansietas atau trauma lain).
4.
Nyeri /
kenyamanan.
Gejala : Nyeri
hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau
kerusakan tulang, dapat berkurang pada immobilisasi). Tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5.
Keamanan.
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan,
perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau
tiba-tiba).
6.
Penyuluhan
dan pembelajaran.
Gejala : Lingkungan cedera.
Fokus pengkajian pada klien yang
mengalami amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 786) adalah sebagai berikut:
1.
Aktivitas
/ istirahat.
Gejala : Keterbatasan aktual atau antisipasi yang
dimungkinkan oleh kondisi / amputasi.
2.
Integritas
ego.
Gejala : Masalah tentang antisipasi pola hidup, situasi
finansial, reaksi orang lain. Perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri,
keceriaan semu.
3.
Seksualitas.
Gejala : Masalah tentang keintiman hubungan.
4.
Interaksi
sosial.
Gejala : Masalah sehubungan dengan penyakit atau
kondisi. Masalah tentang peran fungsi, reaksi orang lain.
5.
Penyuluhan
/ pembelajaran.
Memerlukan bantuan dalam perawatan luka atau
bahan, adapatasi terhadap alat bantu ambulatori, transportasi, pemeliharaan
rumah, kemungkinan aktivitas perawatan diri dan latihan kejuruan.
E. Fokus Intervensi
Menurut Doenges, et. al (2000:
763-774) fokus intervensi pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
1.
Nyeri
berhubungan dengan gerakan fragmen, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Hasil yang dih arapkan:
a.
Menyatakan
nyeri hilang.
b.
Menunjukkan
tindakan santai: mampu berpartisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat
dengan ketat.
c.
Menunjukkan
penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individu.
Intervensi:
a.
Pertahankan
imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring , gips, pembebat, traksi.
Rasional : Menghilangkan
nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan cedera.
b.
Tinggikan
dan dukung ekstremitas yang terkena fraktur.
Rasional : Meningkatkan
aliran balik vena, menurunkan edema dan nyeri.
c.
Hindari
penggunaan sprei atau bantal plastik di bawah ekstremitas yang di gips.
Rasional : Dapat
meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang
kering.
d.
Evaluasi
keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik,
termasuk intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk nyeri non verbal.
Rasional : Mempengaruhi
pilihan dan pengawasan keefektifan intervensi.
e.
Berikan
alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan
sirkulasi umum, menurunkan area tekanan dan kelelahan otot.
f.
Dorong
pasien menggunakan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif atau
latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi.
Rasional : Memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan meningkatkan kemampuan koping
dalam manajemen nyeri.
g.
Selidiki
adanya keluhan nyeri yang tak biasa / tiba-tiba atau dalam, lokasi progresif
atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat
menandakan terjadinya komplikasi seperti infeksi, iskemia jaringan atau sindrom
kompartemen.
h.
Lakukan kompres
dingin (es) pada 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan
edema atau pembentukan hematoma dan menurunkan nyeri.
i.
Berikan
analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Diberikan
untuk menurunkan nyeri dan spasme otot.
2.
Risiko
tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.
Hasil yang diharapkan:
a.
Mempertahankan
stabilisasi dari posisi fraktur.
b.
Menunjukkan
mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
c.
Menunjukkan
pembentukan kalus / mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
Intervensi:
a.
Pertahankan
tirah baring / ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi diatas dan
dibawah fraktur bila bergerak / membalik.
Rasional : Meningkatkan
stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi / penyembuhan.
b.
Letakkan
papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
Rasional : Tempat
tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah,
mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi penarikan traksi.
c.
Sokong
fraktur dengan bantal / gulungan selimut. Pertahankan posisi netral pada bagian
yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, papan kaki.
Rasional : Mencegah
gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi. Posisi yang tepat dari bantal juga
dapat mencegah tekanan deformitas yang di gips kering.
d.
Evaluasi
pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema.
Rasional : Seiring
dengan berkurangnya edema, penilaian kembali pembebat atau penggunaan gips
plester mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesejajaran fraktur.
3.
Risiko tinggi
terhadap disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan penurunan atau interupsi
aliran darah.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh
terabanya nadi, kulit hangat atau kering, sensasi normal, sensori biasa, tanda
vital stabil, dan haluaran urin adekuat untuk situasi individu.
Intervensi:
a.
Lepaskan
perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
Rasional : Dapat
membendung sirkulasi bila terjadi edema.
b.
Evaluasi
adanya (kualitas) nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi.
Rasional : Penurunan
atau tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler.
c.
Kaji
aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya
warna kulit harus cepat (3-5 detik). Warna kulit putih, menunjukkan gangguan
arterial, sianosis diduga adanya gangguan vena.
d.
Lakukan
pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motor atau sensasi. Minta
pasien untuk melokalisasi nyeri.
Rasional : Gangguan
perasaan kebas, kesemutan, peningkatan atau penyebaran nyeri bila sirkulasi pada
saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
e.
Tes
sensasi saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari dan
jari kedua dan kaji kemampuan dorsofleksi ibu jari bila di indikasikan.
Rasional : Panjang
dan posisi saraf perineal meningkatkan risiko cedera pada fraktur kaki, edema /
sindrom kompartemen, malposisi alat traksi.
f.
Kaji
jaringan disekitar akhir gips, selidiki keluhan rasa terbakar di bawah gips.
Rasional : Faktor
ini disebabkan atau mengindikasikan jaringan iskemia, menimbulkan kerusakan /
nekrosis.
g.
Pertahankan
peninggian ekstremitas yang cedera kecuali dikontraindikasikan.
Rasional : Meningkatkan
drainase vena / menurunkan edema.
h.
Kaji
keseluruhan panjang ekstremitas untuk pembengkakan / pembentukan edema.
Rasional : Peningkatan
lingkar ekstremitas yang cedera menandakan edema jaringan tetapi dapat juga
perdarahan.
i.
Selidiki
tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba (contoh penurunan suhu kulit dan
peningkatan nyeri).
Rasional : Dislokasi
fraktur sendi (terutama lutut) dapat menyebabkan kerusakan arteri yang
berdekatan dan berakibat hilangnya aliran darah ke distal.
j.
Awasi
tanda vital. Perhatikan tanda pucat / sianosis umum, kulit dingin, perubahan
mental.
Rasional : Ketidakadekuatan
volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
k.
Awasi hemoglobin
/ hematokrit, pemeriksaan faktor koagulasi darah (contoh protrombin).
Rasional : Membantu
dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keektifan terapi penggantian.
4.
Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuro muskuler.
Hasil yang diharapkan:
a.
Meningkatkan
/ mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
b.
Mempertahankan
posisi fungsional.
c.
Meningkatkan
kekuatan / fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
d.
Menunjukkan
teknik yang memampukan melakukan aktifitas.
Intervensi:
a.
Kaji
derajat imobilitas yang dihasilkan oleh pengobatan (terapi restriktif) dan
perhatikan persepsi klien terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien
mungkin dibatasi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual,
memerlukan informasi / intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
b.
Dorong
partisipasi dalam akatifitas terapeutik / rekreasi. Pertahankan rangsang
lingkungan seperti koran, TV, radio, barang pribadi, kalender dll.
Rasional : Memberi
kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
c.
Instruksikan
pasien untuk / bantu dalam rentang gerak pasien, pasif untuk ekstremitas yang
sakit dan aktif untuk ekstremitas yang sehat.
Rasional : Meningkatkan
aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan
gerak sendi, mencegah kontraktur / atrofi dan resorbsi kalsium karena tak
digunakan.
d.
Dorong
penggunaan latihan isometrik mulai dari tungkai yang tidak sakit.
Rasional : Kontraksi
otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu
mempertahankan kekuatan dan massa otot.
e.
Dorong /
bantu perawatan diri / kebersihan.
Rasional : Meningkatkan
kekuatan dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung.
f.
Ubah
posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk dan nafas dalam.
Rasional : Mencegah
/ menurunkan insiden komplikasi kulit / pernafasan.
g.
Konsul
ahli terapi fisik / okupasi dan / atau rehabilitasi spesialis.
Rasional : Berguna
dalam membuat aktivitas iindividual / program latihan.
5.
Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer
skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam.
Intervensi:
a.
Inspeksi
kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional : Pen
atau kawat tidak dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau
abrasi.
b.
Kaji
kulit, perhatikan keluhan peningkatan nyeri / rasa terbakar atau adanya edema,
eritema, drainase dan bau tak enak.
Rasional : Dapat
mengindikasikan timbulnya infeksi lokal /nekrosis jaringan yang dapat
menimbulkan osteomielitis.
c.
Observasi
luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainase yang tak enak / asam.
Rasional : Tanda
perkiraan gas gangren.
d.
Kaji tonus
otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional : Kekakuan
otot, spasme tonik otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
e.
Berikan
obat-obatan sesuai indikasi: antibiotik dan tetanus toksoid.
Rasional : Dapat
diberikan sebagai profilaksis.
Fokus intervensi pada klien amputasi
menurut Doenges, et. al (2000: 787-795) adalah sebagai berikut:
1.
Gangguan
citra tubuh berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh.
Hasil yang diharapkan:
a.
Mulai
menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri (amputasi).
b.
Mengenali
dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri
yang negatif.
c.
Membuat
rencana nyata untuk adaptasi peran baru / perubahan peran.
Intervensi:
a.
Dorong
ekspresi ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
Rasional : Ekspresi
emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup tanpa
tungkai.
b.
Beri
penguatan informasi pascaoperasi termasuk tipe / lokasi amputasi, tipe protesa,
harapan tindakan operasi, termasuk kontrol nyeri dan rehabilitasi.
Rasional : Memberikan
kesempatan untuk menanyakan dan mengasimilasi informasi dan mulai menerima
perubahan gambaran diri dan fungsi, yang dapat membantu penyembuhan.
c.
Kaji
derajat dukungan yang ada untuk pasien.
Rasional : Dukungan
yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses rehabilitasi.
d.
Dorong
partisipasi dalam akivitas sehari-hari. Berikan kesempatan untuk memandang /
merawat puntung menggunakan waktu untuk untuk menunjukkan tanda positif
penyembuhan.
Rasional : Meningkatkan
kemandirian dan meningkatkan harga diri.
e.
Berikan
lingkungan yang terbuka pada pasien untuk mendiskusikan masalah tentang
seksualitas.
Rasional : Mengidentifikasi
tahap berduka / kebutuhan untuk intervensi.
f.
Perhatikan
perilaku menarik diri. Membicarakan diri tentang hal yang negatif, penggunaan
penyangkalan atau terus menerus melihat perubahan nyata /yang diterima.
Rasional : Mengidentifikasi
tahap berduka nyata/ yang diterima.
2.
Nyeri akut
berhubungan dengan cedera fisik / jaringan dan trauma saraf.
Hasil yang diharapkan:
a.
Menyatakan
nyeri hilang / terkontrol.
b.
Tampak
rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tepat.
c.
Menyatakan
pemahaman tentang nyeri fantom dan metode untuk menghilangkannya.
Intervensi:
a.
Catat
lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan karakteristik
nyeri (kebas atau kesemutan).
Rasional : Membantu
dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi.
b.
Tinggikan
bagian yang sakit dengan meninggilkan kaki tempat tidur atau menggunakan bantal
/ guling untuk amputasi tungkai atas.
Rasional : Mengurangi
terbentuknya edema dengan peningkatan alir balik vena, menurunkan kelelahan
otot dan tekanan kulit / jaringan.
c.
Terima
kenyataan sensasi fantom tungkai yang biasanya hilang dengan sendirinya.
Rasional : Mengetahui
sensasi ini memungkinkan pasien memahami fenomena normal ini yang dapat terjadi
segera atau beberapa minggu pasca operasi.
d.
Berikan
tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan punggung) dan aktivitas
terapeutik. Dorong penggunaan teknik manajemen stress (contoh latihan nafas
dalam, visualisasi) dan sentuhan terpeutik.
Rasional : Memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dapat meningkatkan kemampuan koping
dan dapat menurunkan terjadinya nyeri fantom pada tungkai.
e.
Berikan
pijatan lembut pada puntung sesuai toleransi bila balutan telah dilepaskan.
Rasional : Meningkatkan
sirkulasi, menurunkan tegangan otot.
f.
Selidiki
keluhan nyeri lokal / kemajuan yang tak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat
mengidentifikasi terjadinya sindrom kompartemen.
g.
Berikan
obat sesuai indikasi : analgetik dan relaksan otot.
Rasional : Menurunkan
nyeri dan spasme otot.
3.
Risiko
tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah vena / arterial.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan
dengan nadi perifer teraba, kulit hangat / kering, dan penyembuhan luka tepat
waktu.
Intervensi:
a.
Awasi
tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan antara
ekstremitas yang sakit dan yang sehat.
Rasional : Indikator
umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi.
b.
Lakukan
pengkajian neurovaskuler periodik, contoh sensasi, gerakan, nadi, warna kulit
dan suhu.
Rasional : Edema
jaringan pasca operasi, pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat dapat
mengganggu sirkulasi pada puntung mengakibatkan nekrosis.
c.
Inspeksi
alat balutan / drainase, perhatikan karakteristik balutan.
Rasional : Kehilangan
darah terus menerus mengindikasikan kebutuhan untuk tambahan penggantian cairan
dan evaluasi gangguan koagulasi.
d.
Berikan
tekanan langsung pada sisi perdarahan bila terjadi perdarahan.
Rasional : Tekanan
langsung pada luka dapat diteruskan dengan penggunaan balutan serat pengaman
dengan balutan elastis bila perdarahan terkontrol.
e.
Berikan
cairan intravena / produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan
volume sirkulasi untuk memaksimalkan perfusi.
4.
Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas drainase purulen
atau eritema dan tidak demam.
Intervensi:
a.
Pertahankan
teknik aseptik bila mengganti balutan / merawat luka.
Rasional : Meminimalkan
introduksi bakteri.
b.
Inspeksi
balutan dan luka, perhatikan karakteristik drainase.
Rasional : Deteksi
dini terjadinya infeksi memberikan kesempatan untuk intervensi tepat waktu.
c.
Tutup
balutan dengan plastik bila menggunakan pispot atau bila terjadi inkontinensia.
Rasional : Mencegah
kontaminasi pada amputasi.
d.
Buka
puntung terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air setelah
pembalutan dikontraindikasikan.
Rasional : Mempertahankan
kebersihan dan meminimalkan kontaminasi.
e.
Awasi
tanda vital.
Rasional : Peningkatan
suhu / takikardi menunjukkan terjadinya infeksi.
f.
Berikan
antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Dapat
digunakan sabagai profilaksis.
5.
Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai.
Hasil yang diharapkan:
a.
Menunjukkan
keinginan berpartipasi dalam aktifitas.
b.
Mempertahankan
posisi fungsi dibuktikan dengan tidak adanya kontraktur dan atropi otot.
c.
Menunjukkan
teknik / perilaku yang memampukan beraktifitas.
Intervensi:
a.
Bantu
latihan rentang gerak khusus untuk area yang sakit dan yang tidak sakit secara
dini pada tahap pasca operasi.
Rasional : Mencegah
kontraktur dan perubahan bentuk yang dapat terjadi dengan cepat dan
memperlambat penggunaan protesa.
b.
Dorong
latihan aktif / isometrik untuk paha atas dan lengan atas.
Rasional : Meningkatkan
kekuatan otot untuk membantu ambulasi.
c.
Instruksikan
pasien untuk berbaring dengan posisi tengkurap sesuai toleransi, sedikitnya dua
kali sehari dengan bantal dibawah abdomen dan puntung ekstremitas bawah.
Rasional : Menguatkan
otot ekstensor dan mencegah kontraktur fleksi pada panggul.
d.
Tunjukkan
/ bantu teknik pemindahan dan penggunaan alat mobilitas (contoh kruk, atau walker).
Rasional : Membantu
perawatan diri dan kemandirian pasien.
e.
Bantu latihan
ambulasi.
Rasional : Menurunkan
potensial untuk cedera. Ambulasi setelah amputasi tergantung waktu pemasangan
protesa.
f.
Rujuk
kepada tim rehabilitasi.
Rasional : Memberikan bentuk latihan / program
aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan kekuatan individu dan mengidentifikasi
mobilitas fungsional membantu peningkatan kemandirian.
0 comments:
Post a Comment